Thursday, August 21, 2008

1. KH Ma`ruf Amin - Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat


LDII Harus Berani Menindak Jamaahnya yang Tidak Mau Melakukan Perubahan

Kita bisa mentolelir perbedaan, tetapi tidak bisa mentolelir penyimpangan. Penyimpangan ini harus diamputasi. Kita memberikan kesempatan kepada orang yang menyimpang itu untuk rujuk ilal haq. Kita mengeluarkan fatwa tentang sesatnya suatu kelompok jika kita telah melakukan investigasi secara mendalam terhadap kelompok itu.

LDII adalah salah satu lembaga yang fatwa terhadapnya terkait dengan Islam Jama’ah, karena ada prinsip-prinsip Islam Jama’ah yang dianggap menyimpang. Adapun fatwa MUI khusus tentang LDII tidak ada, namun jika ia menggunakan ajaran-ajaran Islam Jama’ah yang prinsip-prinsipnya menyimpang itu, maka ia terkait juga dengan fatwa tentang kesesatan Islam Jama’ah. Memang ada satu keputusan Munas MUI yang menyinggung nama. Dalam satu rekomendasi dinyatakan bahwa “Aliran sesat itu seperti Ahmadiyah, LDII.... .“ Kalimatnya berbunyi seperti itu. Kenapa LDII dijadikan bagian yang sesat? Karena LDII dianggap sebagai penjelmaan Islam Jama’ah.

Sesudah itu, LDII berusaha meninggalkan hal-hal yang menyebabkan kesesatannya itu. Mereka meminta audiensi ke MUI Pusat untuk mensosialisasikan apa yang disebutnya sebagai paradigma baru. Paradigma baru ini menegaskan bahwa LDII tidak menggunakan ajaran Islam Jama’ah sebagai satu landasan, meski dalam beberapa ajaran ada yang sama, yang berkaitan dengan amaliah, bukan i`tiqadiyah. Mereka meninggalkan ajaran Islam Jama’ah seperti menganggap najis kelompok lain. Mereka tidak lagi mencuci bekas tempat shalat orang lain, tidak mengkafirkan kelompok lain. Bahkan, mereka bersumpah di hadapan MUI Pusat bahwa itu bukanlah taqiyah. Sesudah itu mereka membuat pernyataan tertulis untuk menegaskan perubahan itu.

Dalam memandang LDII, MUI Pusat terbagi dalam dua pendapat. Pertama, kita menerima, kemudian kita lakukan penyesuaian ke daerah. Klarifikasi secara nasional diberikan, sedangkan klarifikasi di daerah diberikan secara parsial. Kedua, ada juga kelompok yang sangat mencurigai LDII, dan meminta klarifikasi dilakukan dari tingkat bawah (bottom up), baru klarifikasi nasional. Dengan demikian, ar-ruju’ ilal haq dilakukan secara qaulan wa fi`lan (dalam ucapan dan tindakan), bukan hanya statemen.

Ketika LDII dianggap melakukan ar-ruju` ilal haq, LDII dianggap sebagai entitas yang pernah melakukan penyimpangan, karena LDII dikaitkan dengan Islam Jama’ah. Dalam perjalanannya, LDII memiliki keinginan untuk kembali kepada kebenaran. Namun, ada kelompok-kelompok yang sangat keras, menentang, seolah-olah LDII tidak boleh bertaubat.

LDII sekarang dalam tahap verifikasi secara kelembagaan maupun secara grass roots. Saya melihat, secara kelembagaan mereka tidak ada masalah, dari pengurus pusat hingga pengurus daerah memiliki satu kata. Namun di tingkat bawah, kemungkinan masih ada masalah, karena masih ada generasi LDII yang berpegang pada Islam Jama’ah. Namun demikian, kondisi di bawah tidak sepenuhnya bisa kita jadikan indikasi bahwa LDII belum berubah. Kita meminta ketegasan dari pengurus LDII dalam menyikapi kadernya yang masih meneruskan ajaran Islam Jama’ah. Kelompok-kelompok yang tidak patuh harus dinyatakan bukan bagian dari LDII. Sehingga LDII tidak lagi terkontaminasi oleh kelompok-kelompok itu.

...

2. KH Alie Yafie - Tokoh Ulama


Tidak Boleh Sembarang, Tanpa Penelitian

Saya ingin menyampaikan bahwa memang menarik mengkaji perkembangan Islam di Indonesia. Bagian dari perkembangan tersebut, kita harus lihat LDII di situ. Jadi kita tidak boleh (menuding) sembarang, tanpa data dan fakta dari hasil penelitian. Karena saya tidak punya data yang cukup, saya tidak ingin memberikan vonis kepada LDII. Jadi saya anjurkan untuk melakukan penelitian yang mendalam, secara kekerabatan, tidak seperti polisi atau jaksa yang sedang menyelidik.

Intinya secara ukuwah Islamiyah. Jadi tahu bagaimana sejarahnya, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan lain sebagainya. Jadi, sebagai ilmuwan, kita tidak boleh ngomong seperti orang awam. Itu harapan saya.

...

3. Prof. Dr. H. Utang Ranuwidjaya - Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI Pusat

LDII Perlu Konsisten dengan Paradigma Barunya

Konsep paradigma baru LDII sudah bagus kalau dilihat dari paparan yang mereka sampaikan. Hal itu saya kemukakan berdasarkan pemantauan saya di beberapa tempat seperti di Jakarta, Surabaya, Lampung dan Kediri. Sebenarnya, dengan paradigma baru tersebut, mereka ingin meninggalkan paham-paham yang dulu diwariskan oleh Islam Jama’ah. Bahkan sekarang, justru mereka ingin membersihkan paham-paham Islam Jama’ah tersebut, jika memang masih ada di dalam tubuh gerakan LDII. Paradigma baru LDII adalah suatu cerminan bahwa mereka ingin kembali ke pangkuan Majelis Ulama Indonesia untuk mendapatkan pembinaan, dan merupakan keinginan bersatu LDII dengan segenap kekuatan Islam Indonesia.

Namun demikian, proses sosialisasi paradigma baru LDII yang mereka lakukan baru sampai tingkat PAC, belum sampai ke grass roots. Kalau begitu kenyataannya, sosialisasi tersebut harus terus ditingkatkan dan diupayakan secara cepat dan maksimal. Selama ini, memang kita masih melihat dan mendengar laporan dari para pengurus atau pimpinan Majelis Ulama Indonesia, baik di Provinsi, Kabupaten atau Kota maupun MUI Kecamatan di mana di beberapa tempat masih ada pola-pola lama yang mereka terapkan.

Tapi pada umumnya, informasi dari MUI Provinsi dan Kabupaten atau Kota menyatakan bahwa sudah bagus pembinaan di internal LDII. Mereka (LDII) juga sudah membuka komunikasi dengan MUI dan ormas-ormas yang lain, meski di beberapa tempat masih terdapat kekakuan dari pihak LDII sendiri dalam berbaur dan dalam meninggalkan kesan-kesan eksklusifnya. Inilah sosialisasi paradigma baru LDII yang sedang dalam proses tersebut.

Pengurus LDII, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten sudah cukup tegas dalam menerapkan paradigma barunya. Bahkan, beberapa kali saya mendengar ucapan dari para pimpinan LDII Provinsi yang mengatakan, ”Andaikata masih ada yang menerapkan pola lama dan menjalankan paham-paham Islam Jama’ah, maka kepada mereka diminta untuk keluar dari LDII, dan dianggap itu bukan warga LDII.” Jadi, kalau melihat ketegasan semacam itu sih, saya agak optimis bahwa paham-paham tentang Islam Jama’ah secara bertahap akan ditinggalkan oleh organisasi LDII ini.

Sebenarnya, ajaran LDII itu perlu pendalaman dan penelitian lebih lanjut, karena di lapangan yang saya temukan hanya di permukaan. Tentunya, jawaban saya tidak begitu valid, karena belum mendalami apa yang terjadi di lapangan. Sebatas yang saya dengar, sebatas apa yang saya lihat, dan kesimpulan dari diskusi-diskusi dengan MUI di Provinsi dan Kabupaten, dimana memang masih ditemukan masalah-masalah implementasi di lapangan terkait dengan paradigma baru LDII. Ini harus terus dipantau sejauh mana mereka jujur, ikhlas, terbuka dan bertanggungjawab untuk melaksanakan paradigma barunya. Apakah itu menyangkut sesuatu yang sangat rahasia, ataupun yang biasa mereka buka itu, mestinya dilakukan pemantauan dan penelitian lebih lanjut di lapangan secara mendalam.

Sekarang ini, saya bukan melakukan penelitian ansih, tetapi (juga menggelar pelbagai kegiatan) seperti yang dilakukan di MUI Provinsi DKI Jakarta, itu juga dilakukan MUI di Provinsi yang lain yang saya temui. Jadi, sebenarnya kami memantau apa yang terjadi pada saat dilakukan klarifikasi antara LDII dengan MUI dan ormas-ormas lainnya di beberapa daerah. Ini bisa dikatakan sebagai sampel, atau sekedar melihat di beberapa daerah secara terbatas, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana sih sosialisasi yang mereka lakukan, dan sejauh mana pula masalah-masalah yang muncul dapat diketahui oleh Majelis Ulama Indonesia di beberapa daerah yang saya datangi tersebut.

...

4. Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Mereka Kita Anggap Mutanaththi`

Airan atau madzhab atau firaq islamiah itu, sepanjang masa akan tetap ada. Kajian mengenai al-Firaq al-Islamiah (firqah-firqah Islam) dan al-Firaq al-Kharijah `anil Islam (firqah-firqah yang keluar dari Islam) adalah salah satu mata kuliah wajib di Timur Tengah, baik itu di Ummul Qura Makkah maupun di Al-Azhar Kairo. Yang termasuk firqah Islam adalah Mu`tazilah, Khawarij, Jabariah, Qadariah, Murji’ah, Jahamiah; Syi`ah, Syi`ah Itsna `Asyariah, Imamiah, dan Zaidiah. Sedangkan firqah yang keluar dari Islam yaitu Syiah Ismailiah, Bahaiyah, Qadianiyah, dan lain-lain. Kelompok kedua ini dianggap keluar dari Islam karena mereka mengingkari prinsip-prinsip ma`ulima minaddin bidhdharuri (prinsip yang sangat fundamental dalam Islam).

Orang atau kelompok yang mengingkari ma’ulima minaddin bidhdharurah54 bisa dikategorikan sesat. Sedangkan kelompok atau orang yang mengingkari ma`ulima minaddin bitta`allum (hasil pemikiran/telaah/ijtihad) tidaklah sesat. Sampai-sampai, golongan Khawarij pun masih dianggap sebagai bagian dari kelompok Islam (firaq islamiah), padahal mereka telah membunuh Sayidina Ali Karramallahu Wajhah.

Di dalam Islam terdapat beragam aliran dan golongan. Sebagian besar golongan tersebut tidak bisa dianggap sesat, karena ada dua perbedaan, yaitu perbedaan yang bersifat wacana dan perbedaan yang bersifat aksi/amal. Lha, LDII ini perbedaannya amal. Mereka tidak kita anggap sesat, tetapi mutanaththi`, tanaththu`, orang yang eksklusif, kelompok eksklusif. Namun demikian, LDII masih dalam bagian firqah islamiah, karena meyakini apa yang disebut ma’ulima minaddin bidhdharurah, meski dalam beberapa hal LDII (menurut beberapa kalangan yang mengamati organisasi ini) berbeda dengan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat tertentu. Perbedaan penafsiran itu sendiri dalam banyak kesempatan dibantah oleh pengurus LDII. Seandainya dugaan para pengamat itu benar, perbedaan itu tidak menyebabkan LDII menyandang label ”sesat.” Itu tidak sesat, hanya salah atau sempit. Itu tanaththu`, mutanatti`, hatta Khawarij kita tidak mengatakan sesat. Padahal dia yang membunuh Sayidina Ali, kita tidak mengatakan sesat, tetapi mutasyaddid, mutatharrif.

Mutasyaddid (keras) dan mutatharrif (ekstrem atau keterlaluan) itu berbeda dengan menyimpang. Yang menyimpang adalah yang mengingkari ma`ulima minaddin bidhdharurah, yang bitta`allum tidak. Allah punya sifat berapa dan apa, itu bitta`allum. Di kalangan NU dan di kalangan Pesantren, ada juga kalangan yang eksklusif. Sampai-sampai, kaum perempuan sama sekali tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Ada sebagian orang membaca takbiratul ihram berkali-kali, karena was-was, seakan-akan harus hati-hati. Justru hal ini adalah bagian dari sifat keterlaluan dan berlebihan.

LDII tidak bisa disamakan dengan Ahmadiah. Ahmadiah itu sesat karena mengingkari ma`ulima minaddin bidhdharurah, mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Saya menanggapi perubahan paradigma LDII secara positif. Paradigma Baru LDII harus disikapi dengan positif. Mereka (LDII) mengakui kesalahan, dalam tanda petik: kesalahan ajarannya atau kesalahan doktrinnya, bukan kesalahan aqidah. Aqidah nggak salah, dari awal nggak salah. Aqidah dia rukun iman yang enam itu. Rukun Islamnya juga sama. Ya seperti pesantren dulu, dimana Bahasa Inggris itu haram. Sekarang, justru membolehkan. NU sendiri, pada Muktamar tahun 30-an itu mengharamkan pakai dasi atau pakai celana. (Sekarang, tidak).

...

5. DR. M. Syafi’i Mufid, MA - Peneliti, Departemen Agama - Republik Indonesia

LDII Sekarang Ibarat Teori Gelombang

LDII yang saya ketahui itu kan sebuah organisasi Islam. Yang awalnya dari LEMKARI kemudian menjadi LDII. Nah, sebelumnya ada yang namanya Islam Jama’ah. Sebelum Islam Jama’ah, ada yang namanya Darul Hadits. Jadi, itu proses dimulainya sebuah tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam tentang imamah (tentang jama’ah) kemudian implementasinya dalam bentuk gerakan, yang namanya gerakan Islam Jama’ah atau Darul Hadits.

Sebetulnya, ajaran inti dari yang kita kenal Islam Jama’ah itu adalah mengenai kejama’ahan dan keimamahan. Apa yang dipahami dari kawan-kawan Islam Jama’ah itu adalah atsar-nya dari Sayidina Umar yaitu la islama illa bil jama’ah walajamaata illa bil imamah wala imamata illa bithoah wala thoata illa bil bai’at. Kemudian mamata laisa lahu biatun mata mitatan jahiliyatan, haditsnya maupun atsarnya itu, lazim di kalangan umat Islam. Tidak merupakan sesuatu yang aneh, artinya masyhur (umum, dikenal). Yang menjadi aneh pada waktu itu adalah, kalau orang tidak masuk jama’ah, mereka itu dianggap bukan Islam. Itu masalahnya. Nah, ini kekeliruan penafsiran yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok. Kemudian oleh Majelis Ulama Indonesia dikatakan sebagai kelompok sesat. Itu adalah klaim kebenaran yang hanya ada pada mereka. La islama illa bil jama’ah. Kata-kata jama’ah itu hanya untuk Darul Hadits, Islam Jama’ah. Kan begitu awalnya. Mestinya tidak begitu. Jadi, Islam Jama’ah adalah Al jama’ah min jamaatul muslimin. Jadi, satu jama’ah dari jama’ah-jama’ahnya umat Islam. Umat Islam itu banyak jama’ahnya. Tidak satu-satunya. Nah, disini yang menjadi krusial itu.

Bai’at itu, kalau kita kembali kepada sejarah sirah nabawiyah itu, kan ada bai’at aqobah, ada bai’atur ridwan. Nah, itu berbeda. Bai’at yang pertama itu, bai’at untuk menyatakan lailaha illallah muhammadurrasulullah, dan dia siap. Di Aqobah itu, orang Aus dan Hujrat yang datang menghadap Nabi itu, siap menerima kehadiran Nabi di Madinah, melindungi Nabi di Madinah, dan siap mengikuti ajaran Nabi Muhammad. itu bai’at aqobah. Kemudian bai’atur ridwan itu adalah umat Islam yang siap untuk menghadapi apapun yang terjadi. Ketika umat Islam mendapatkan berita bahwa utusan Nabi yang ke Mekkah itu di tahan oleh Quraisy, Utsman diutus untuk negosiasi dengan orang Quraisy. Waktu itu, Nabi tidak berkehendak perang, tapi ingin melakukan ibadah haji. Tapi akhirnya ditolak. Kemudian ada perjanjian. Kemudian Nabi kembali ke Madinah. Baru kemudian 2tahun berikutnya, Nabi pergi ke Mekkah. Nah, itu bai’at, dan ada bai’at lagi yaitu bai’at kepemimpinan ketika khalifah Umar membai’at Abu Bakar sebagai khalifah. Bai’at itu sebetulnya, ya kalau bahasa sekarang, bai’at kepada khalifah atau bai’at kepada khulafaur rosyidin. Ya, demokrasi itu dimana pemilih menyatakan aku setuju dengan anda. Nah, bai’at yang di LDII atau yang sejenis itu, hakikatnya adalah sama dengan bai’at kepada pemimpin. Pemimpinnya sebagai imam yang secara spesifik itu sama dengan bai’at orang-orang thariqot. Orang-orang thariqot juga bai’atnya untuk sami’na waatho’na terhadap guru atau mursyidnya. Nah kalau orang-orang Jama’ah ini sami’na waatho’na terhadap imamnya, itu sama dengan tidak masalah. Masih tetap dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syari’at. Nah, yang bertentangan adalah tidak ada imam yang lain kecuali imamku, dan membai’at imam yang bukan imamku, batal. Itu kafir. Itu yang keliru. Siapapun yang berpandangan eksklusif semacam itu, keliru. Dan itu ciri dari jama’ah-jama’ah yang eksklusif seperti itu.

Ajaran manqul itu, sebetulnya ada dalam tradisi ulama-ulama nusantara, meskipun tidak dikatakan manqul. Itu kan ada istilah ijazah. Seorang ulama misalnya, saya pernah ngaji kepada guru saya untuk baca kitab ihya’. Setelah tamat baca ihya’, itu guru saya (kyai saya itu) memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang mengikuti pengajian itu, termasuk saya, untuk sahnya membaca ihya’. Nah, saya bisa membaca ihya’, kayak begini itu dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan kemampuannya itu dari gurunya. Itulah yang namanya silsilah. Manqul, kalau dipahami sebagai silsilah, kayak begitu. Biasa, wajar. Persoalannya, manqul itu adalah hadits yang diajarkan oleh gurunya. Itu sajalah yang benar. Tidak ada hadits yang benar kecuali yang diajarkan oleh gurunya. Padahal, jumlah hadits itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah untuk meriwayatkan hadits ini. Kan lagi-lagi eksklusif. Di situ letak kekeliruannya. Manqul pada umumnya tidak ada masalah, karena dia tidak beranggapan bahwa hanya dengan jalan inilah orang bisa masuk syurga. Kecuali, kalau tidak mengikuti jalan ini, orang masuk neraka, di situ kemudian terjadi doktrin yang menyesatkan, karena jalan untuk menuju kebenaran itu banyak. hadits itu banyak. Kitab itu banyak pendapat. Nah, ini yang mereka itu tidak ada ketika masih dalam gerakan Islam Jama’ah.

Nah, ketika sudah menjadi LDII, saya sudah mendengar, saya sudah membaca Keputusan Rakernas LDII tahun 2007 bahwa memang LDII sudah mengubah paradigma lama dengan paradigma baru, termasuk ajaran tentang Islam Jama’ah, ajaran Manqul, ajaran tentang Imamah, Keamiran dan lain sebagainya sudah dihilangkan. Mereka sudah mengikuti sawadul a’dhom. Itu tertulis. Nah, sekarang apa iya seperti itu, tanyakan kepada orang-orang LDII. Sepengetahuan saya, pernah suatu ketika saya shalat jum’at di Masjid LDII di daerah Dago (Bandung). Sampai orang-orang sebagian bubar, saya masih shalat di situ. Kemudian saya pergi. Saya tinggalkan Masjid itu, tetapi saya pergi ke rumah seorang teman yang berdekatan dengan masjid itu. Saya yakin mereka tidak tahu, kalau saya mampir di depan Masjid itu. Nah di rumah teman itu, saya perhatikan dari rumah jendela kaca, saya perhatikan betul bahwa tidak ada seorangpun yang mencuci tempat di mana saya duduk dan saya sujud di Masjid itu. Karena anggapan bahwa kalau saya bukan anggota LDII adalah najis atau orang bukan Islam, ternyata tidak ada sampai akhirnya datang waktu shalat Ashar. Ketika shalat Ashar, saya datang lagi ke tempat itu. Kemudian saya memperkenalkan diri. Saya salaman kepada mereka. Lalu terjadilah dialog. Dia tanya, ”Bapak dari mana?” Saya dari Departemen Agama, lagi ada Rapat Kerja di Badung. Kebetulan saya ada keperluan ketemu dengan teman yang rumahnya dekat sini. Lalu saya shalat disini. ”Saya mau tahu apakah sudah ada perubahan di kalangan teman-teman di LDII apa nggak?,” Katanya, kalau ada orang shalat di LDII, dicuci. Ketika saya lihat sendiri, kok tidak dicuci bekas tempat saya tadi. Nah itu gimana? Kata mereka, ”Itulah pak, fitnah yang terjadi, dimana saya mencuci bekasnya orang shalat, nggak ada, itu fitnah.” Apakah dulu memang pernah terjadi seperti itu, atau itu memang sudah terjadi perubahan? ”Saya orang LDII yang berhak untuk menjawab.” Pengalaman saya yang seperti itu tidak sekali saja. Pada waktu lebaran kemarin, saya juga shalat di Masjid Pantura yang di situ ada spanduknya yang bertuliskan ”Mengucapkan selamat Idul Fitri.” Pada kanan kiri spanduk tersebut, ada simbol Majelis Ulama Indonesia dan simbol LDII. Boleh saya katakan bahwa Masjid yang saya pakai adalah masjidnya LDII. Ternyata di situ, yang menjadi Imam Maghrib --waktu itu masih dalam bulan Ramadhan-- itu bukan orang LDII. Dan orang-orang LDII yang tinggal di sekitar masjid juga ikut berjama’ah di situ. Masjid di situ tempat lalu lalang (banyak orang), dan tidak ada cuci-mencuci itu. Itulah pengalaman saya terhadap LDII.

...

6. DR. Adian Husaini, MA - Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)


http://adianhusaini.blogspot.com/


Lebih Penting Praktek di Lapangan


Sejauh yang saya ketahui, MUI saat ini sedang melakukan penelitian dan harus dichek betul tentang persoalan inti LDII itu. Karena dulu, mereka dikenal (dituduh) dengan (isu-isu) doktrin-doktrinnya seperti ajaran manqul. Mereka (diisukan) mempunyai sanad sendiri dan merasa orang Islam yang lain bukan saudaranya. Bahkan, misalnya, dahulu jika kita menduduki kursi di rumahnya, lalu kursi itu dilap (dibersihkan) lagi. Orang Islam lain dianggap najis dan lain sebagainya. Mereka memakai Hadits tentang bai’at. Menurut mereka, kalau seseorang tidak berbai’at, maka orang itu akan mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang mereka maksud dengan bai’at di sini adalah harus bai’at kepada imamnya. Nah, karena hal inilah kemudian, umat Islam yang lain menganggap mereka berada di kelompok yang sesat.

Jika sekarang mereka mengatakan ada paradigma baru, menurut saya hal itu perlu ditelaah. Apakah mereka betul serius? Apakah benar mereka sudah merevisi ajaran-ajarannya? Apakah benar mereka sudah menganggap se-Islam ini saudara se-Islamnya, dan mereka boleh menikah dengan orang Islam yang lain, dan mereka boleh bermakmum di belakang orang Islam yang lain. Apakah sudah seperti itu? Sebab sejauh ini, meskipun ada banyak perbedaan di antara ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya, tetapi perbedaan itu tidak ada masalah. Termasuh menikah dengan ormas lain juga boleh, tidak menimbulkan masalah. Hal-hal semacam itu, saya kira perlu dievaluasi.

Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) selama ini mempercayakan masalah LDII kepada LPPI, karena LPPI memang dibentuk oleh tokoh-tokoh DDII untuk menangani masalah-masalah aliran. Dewan Dakwah tidak secara langsung melibatkan diri dalam penanganan LDII, Syiah, dan lain-lain.

Paradigma baru LDII itu perlu dicocokkan. Masalahnya, sekarang ini buku-buku yang beredar di jama’ah-jama’ah LDII itu adalah buku-buku yang lama. Apakah buku-buku dan ajaran-ajaran itu sudah direvisi? Jadi tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa mereka sudah berubah, tetapi kemudian ke dalamnya bagaimana? Sama dengan Ahmadiyah kan? Dalam melihat Ahmadiyah, pemerintah tidak cukup hanya dengan mendengarkan pernyataan mereka, tetapi harus melihat realita di lapangan. Itu yang lebih penting, karena masyarakat melihat sendiri kenyataan di lapangan. Misalnya, masyarakat melihat ada masjid LDII, apakah jama’ah masjid itu sudah berbaur dengan jama’ah yang lain? Kalau dulu mereka tidak mau shalat Jum’at dengan yang lain, mereka membuat jama’ah Jum’at sendiri. Nah, sekarang semua itu sudah berubah atau belum? Jadi, lebih penting praktek di lapangan, dan literatur lama itu harus ada revisi.

...

7. Drs. K.H. Munzir Tamam, MA - Ketua Umum Majelis Ulama Islam, Provinsi DKI Jakarta

Mereka Sudah Mau Kembali

Sesungguhnya, saya tidak pernah mendalami tentang LDII dan bagaimana sikapnya. Tetapi banyak dari orang-orang, dari mulut ke mulut, termasuk Kyai saya di Yogyakarta yang menjelaskan bahwa LDII sudah sangat menyimpang dari Islam yang selama ini kita yakini. Kemudian saya tanya beberapa orang, ya sama bahwa LDII seperti itu. Oleh karena waktu saya mengatakan LDII itu, sudah menggunakan paradigma baru, tidak seperti apa yang selama ini kita kenal, kata beliau (Kyai Saya), sudah mutawatir berita penyimpangan itu. Kalau dia mau tukar nama, ini meyakinkan saya bahwa yang selama ini dikenal dengan paradigma lama bertentangan sekali dengan Islam yang kita kenal.

Kan baru kemarin bahwa mereka mengatakan bukan dari Islam Jama’ah dan sebagainya. Kalau saya tidak tahu persis, apa itu mulanya. Tetapi yang jelas, pertama, LDII seperti yang dianggap oleh orang banyak bahwa ada penyimpangan. Kedua, menganggap kita itu selain daripada mereka adalah najis. Banyak cerita bahwa orang kita habis shalat di tempatnya disapu atau dicuci. Ketiga, anak saya pernah ke daerah Jawa Timur. Di sana, begitu mau masuk untuk numpang shalat, ada yang bilang ini bukan untuk orang Islam yang sembarangan. Berarti yang dia Islam bener, dan kita Islam sembarangan. Di sana, saya melihat apa yang dikatakan orang yang selama ini saya dengar itu, benar adanya. Dari situlah saya memang sejak dulu nggak mau ikut campur. Saya anggap sudah lain daripada kita, walaupun saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tetapi dengan cerita-cerita. Saya sudah tidak menganggap mereka. Saya tidak mau mencari (kesalahannya) lagi.

Tapi setelah adanya pendekatan dari pihak LDII kepada kami dimana kami sebagai orang MUI, di situ baru kami sangat memperhatikan. Saya lihat sana, lihat sini, meskipun aduan masih ada. Tetapi kenyataannya, orang itu mau dekat. Waktu mereka mau dekat ke MUI itu, tiga bulan minta waktu untuk ketemu MUI supaya minta diterima.

Pada waktu kita menerima, masih ada di antara kita yang khawatir, jangan-jangan penerimaan kita nanti disalahgunakan oleh mereka, difoto dan sebagainya. Sampai kami harus berpikir lagi. Tetapi, kami punya satu pendirian bahwa kapan bisa kita kenal tanpa ada pertemuan. Maka dengan berhati-hati, pertemuan itu kita adakan. Ternyata saya berpikir, dari mulai hamdalahnya, saya perhatikan kok sama dengan kita. Kemudian dari situ, dia (LDII) menyatakan kenapa dia ingin bertemu dengan MUI. Ternyata, karena dia ingin menyatakan bahwa mereka sudah pakai paradigma baru. Pendirian saya, begitu mereka ingin menyatakan diri untuk pakai paradigma baru, yang mengatakan bahwa Islam yang akan mereka ikuti adalah sama dengan Islam yang kami (MUI) pegang.

Setelah itu, saya merasa punya kewajiban untuk mendekati terus, dalam arti kata, ingin mengetahui. Saya beberapa kali dicurigai oleh kawan-kawan, tapi saya pikir saya punya prinsip bahwa saya ingin mengenal siapa mereka (LDII). Saya ingin tahu betul, bagaimana pengakuannya. Saya ketemu orang MUI Pusat, dan dia mengatakan, ”Hati-hati pak Kyai.” Ya, saya akan berhati-hati, tapi saya akan tetap mendekat, karena saya tahu persis bahwa mereka secara lisan dan sikap, sudah mau kembali.

Lebih tegas lagi pada waktu diadakan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) DPD LDII Provinsi DKI Jakarta tahun 2007, di mana saya diminta untuk bisa menyampaikan pembekalan-pembekalan. Sehari sebelumnya, saya diketemukan oleh salah seorang sekretaris (LDII) yang minta diceritakan tentang ahlus sunnah wal jama’ah, karena mereka (LDII) sebenarnya menuju ke ahlus sunnah wal jama’ah. Itulah, akhirnya saya sampai ke sana. Saya penuhi undangannya. Saya cerita di samping yang menyangkut tulisan saya sendiri. Saya cerita tentang ahlus sunnah wal jama’ah, dan pengalaman saya hidup bersama-sama orang dengan berbagai paham. Kelihatannya mereka antusias menerimanya. Dari sana, saya itu makin percaya walaupun saya yakin baru segelintir dari mereka. Itu kan baru pengurusnya. Kami belum tahu bagaimana kenyataannya di masyarakat. Maka terakhir muncul gagasan, bagaimana kita kumpulkan kawan-kawan kita dan tokoh-tokoh kita dari beberapa organisasi Islam untuk bicara langsung.

Manqul itu silsilahnya dipandang oleh sementara orang, ada perbedaan, terutama tentang darimana sumbernya? sebab dalam Ilmu hadits, masalah manqul tidak asal ada saja, tetapi sumbernya dicari juga. Saya juga masih mencari itu, di mana sih kekeliruannya.

Sekali waktu diadakan pertemuan di suatu tempat. Saya bertindak sebagai imam, dan sekali waktu saya berada di tempat mereka di mana saya jadi makmum, dan tidak dicuci. Makanya, tuduhan seperti itu juga perlu kita cari kebenarannya. Artinya, kenyataannya memang begitu, apa tidak? Dalam pertemuan terakhir, tidak. Kalau toh itu masih ada, memang barangkali duapuluh atau tigapuluh tahun yang lalu.

...

8. Drs. K.H. Mawardi AS. - Ketua Umum Majelis ulama indonesia Provinsi Lampung

Mau Membina Bagaimana, Kalau Mereka Dijauhi

Dulu, waktu menjadi kepala penerangan (di Lampung), saya dapat surat dari Departemen Dalam Negeri yang ditujukan kepada gubernur. Isinya adalah permintaan penelitian tentang ada-tidaknya Islam Jama’ah pada waktu itu (sekitar tahun 1980-an). Lalu saya menyurati kepada Kantor Departemen Agama se-Lampung, yang pada waktu itu ada 4 kabupaten. Diantara isinya adalah permintaan untuk melaporkan tentang keberadaan Islam Jama’ah di daerahnya masing-masing. Di antara yang empat tersebut, ada satu kota yang melaporkan bahwa memang Islam Jama’ah itu ada. Laporan tersebut saya sampaikan kepada gubernur, lalu saya dipanggil Pak Sekretaris Daerah (Sekda). Setelah itu, Pak Sekda memastikan laporan tersebut kepada Kakandepag yang melaporkannya, dan diperolehlah nama Samsuri sebagai pimpinan Islam Jama’ah di Lampung pada waktu itu. Namun setelah Samsuri dipanggil, diketahuilah bahwa yang dimaksud bukanlah Islam Jama’ah, tapi LEMKARI, yang sudah mendapat restu dari pemerintah pusat.

Setelah saya pindah-pindah jabatan, perkembangan soal Islam Jama’ah sudah tidak saya ikuti lagi. Namun kemudian, saya dengar LDII sudah ada kegiatan keagamaannya, terutama kalau qurban. Selaku Kepala Kantor Departemen Agama (Kandepag), Lampung Selatan, selalu dikirimin daging qurban, dikirimin sajadah, dikirimin sarung. Setelah pensiun, saya jadi wakil ketua MUI Provinsi Lampung pada tahun 2000 sampai 2005.

Pada tahun 1980-an, Islam Jama’ah menjadi perbincangan karena ada anggapan bahwa mereka tidak mau membaur dengan umat Islam lainnya. Namun karena posisi saya pada waktu itu memang bukan memegang suatu lembaga yang berkaitan dengan ormas, jadi saya tidak meneliti benar. Setelah saya jadi pengurus MUI pada tahun 2000, tidak ada gejolak. Pada waktu Munas MUI di Hotel Sari Pan Pasifik, Pak Ikhwan (Sekretaris Umum, MUI Pusat) menjelaskan bahwa alhamdulillah, sekarang ini LDII sudah mengadakan pendekatan dan minta diakui sebagai bagian dari MUI. Pada waktu itu, ada yang tidak percaya adanya. Menurut Pak Ma’ruf Amin, diterima baik kalau begitu, tapi benar-benar ya mau menghilangkan image yang selama ini (ada). Ketua (MUI) yang lain mengusulkan untuk diminta sumpahnya bahwa LDII sekarang sudah paradigma baru. Namun, hal itu tidak terjadi, karena Pak Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa LDII sekarang sudah paradigma baru. Oleh karena itu, tolong di daerah itu diadakan pembinaan.

Jadi, paradigma baru menurut Pak Ma’ruf Amin menegaskan bahwa tidak benar apa yang diisukan selama ini (terhadap LDII). Jadi sudah berubah. Jadi sudah banyak perubahan. Jadi sudah menyesuaikan. Apa-apa yang dituduhkan sama orang itu tidak benar, gitu.

Sepulang dari Munas MUI di Lampung, ada kegiatan diskusi tentang perhimpunan kebangsaan pada tahun 2005 akhir. Pada waktu itu, pembicaranya dari MUI dan LDII serta Ormas Islam yang lain. Dalam acara tersebut, ada yang mengatakan bahwa LDII sekarang ini dicurigai masyarakat, karena beberapa sikap seperti jemuran yang kalau diambil tetangganya, dicuci lagi. Selain itu, kalau masuk rumahnya dipel lagi. Merespon hal itu, saya mengulasnya berdasarkan dari Munas MUI sesuai dengan pandangan Pak Ma’ruf Amin.

Paradigma baru LDII yang saya pahami adalah adanya perubahan, dari perubahan-perubahan yang selama ini dianggap tidak benar, seperti kasus jemuran tersebut, kemudian orang lain yang masuk di masjid LDII, bekasnya dipel lagi, kemudian kalau berwudlu itu harus pakai “teklek” atau bakiak. Itu anggapan-anggapan yang berkembang, yang menurut saya tidak ada masalah. Ada keluarga saya yang kayak gitu, yang sudah menjadi anggota LDII dan tidak ada masalah. Jadi apa yang ada itu, tidak ada yang benar. Pada waktu penyelenggaraan rapat koordinasi daerah (Rakorda) MUI Se-Jawa dan Lampung, di mana Lampung sebagai tuan rumahnya, Pak Ma’ruf Amin diundang oleh LDII di masjid LDII, dan saya ngasih sambutannya. Di sana saya mengulas apa yang dikatakan Pak Ma’ruf Amin bahwa paradigmanya sudah diperbarui sehingga sudah tidak ada masalah. Karena itu, mari kita saling percaya-mempercayai.

Di antara yang menarik dari kata-kata Pak Ma’ruf Amin adalah seperti ”Tolong Pak, ini dibina. Mereka orang yang mau minta maaf, masak kita tolak. Tuhan saja Maha Pengampun dan Pemaaf.”
...

9. Drs. H.M. Rafani Akhyar, M.Si. - Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Barat

LDII Bandung Belum Banyak Berubah

LDII Jawa Barat (Jabar) sangat intens menjalin hubungan dengan ormas-ormas Islam lain (khususnya dengan MUI) dan intansi pemerintah. Ketua LDII Bandung sendiri adalah salah satu pengurus IKAPI Bandung. Jika pengurus MUI mempunyai agenda di luar kota untuk kepentingan organisasi, LDII menawarkan bantuan-bantuannya, seperti transportasi, sopir dan keuangan. Ada kalanya tawaran ini ditolak MUI Jabar, karena anggaran untuk keperluan tersebut telah dikeluarkan oleh MUI Jawa Barat.

LDII Bandung belum banyak berubah. Upaya untuk pembauran dengan jama’ah kaum Muslimin lainnya, hanya dilakukan di tingkat pengurus.

Adapun di tingkat grass roots belum terjadi banyak perubahan. Warga LDII masih jarang yang melakukan shalat berjama’ah di masjid-masjid yang tidak dimiliki oleh warga non-LDII. Ada satu kasus yang berkaitan dengan salah satu anggota pengajian LDII, di mana sepasang suami-istri dalam proses perceraian, dikarenakan sang istri aktif mengikuti pengajian LDII. Istri tersebut menggugat cerai, lantaran suaminya tidak mau bergabung dalam pengajian LDII. Di beberapa kecamatan, misalnya di Kecamatan Sukajadi, warga LDII masih mengepel masjidnya jika masjid tersebut baru saja digunakan oleh warga non-LDII. Hal ini dinyatakan oleh MUI Kecamatan Sukajadi.

...

10. KH. Abdusshomad Buchori - Ketua Umum Majelis ulama indonesia Provinsi Jawa Timur

Benturan Terjadi Karena Ananiyah Hizbiyah

LDII yang telah memiliki paradigma baru, mengalami perkembangan lebih baik. Para pengurus LDII pro-aktif bersilaturrahim ke kantor MUI. Pimpinan LDII sering melakukan koordinasi dengan MUI, baik itu pimpinan di tingkat Provinsi Jawa Timur maupun di pusat. Saya beberapa kali bertemu dengan Prof. DR. Ir. KH. Abdullah Syam, MSc., Ketua Umum DPP LDII, untuk membicarakan masa depan LDII.

MUI adalah wadah silaturrahim yang harus menampung kelompok-kelompok yang ingin kembali kepada kebenaran, dan MUI menanggapi keinginan mereka itu dengan baik. Saya pernah memberikan ceramah di Pondok LDII di Burengan, Kediri, bersama Prof. DR. Ir. KH Abdullah Syam, MSc, KH. Ma’ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa MUI dan Pengurus PBNU) dan Drs. H. Amidan. Dalam kesempatan tersebut, saya bertindak dalam kapasitas saya sebagai Ketua Umum MUI Provinsi Jatim. Saya memberikan sambutan dalam kegiatan itu.

Prof. DR. KH. Said Agil dari NU juga hadir. Yang diundang adalah tiga orang, Wakil Gubernur (Wagub) DR. Sunaryo, dan pengurus MUI Provinsi Jawa Timur. Pada waktu itu saya sampaikan bahwa LDII harus berubah. Perubahan tersebut harus menyentuh warga LDII di tingkat masa. Jangan hanya di tingkat pimpinan, untuk membuktikan adanya paradigma baru dan agar lebih berbaur dengan masyarakat.

Kelompok Muslim yang lain di tingkat awam, belum seluruhnya bisa menerima LDII, karena sosialisasi paradigma baru belum berjalan dengan baik. Untuk itu, pada bulan Maret 2008, MUI Jawa Timur bersama DPD LDII Provinsi Jawa Timur dan DPD LDII Kabupaten Jombang akan mengadakan kegiatan reboisasi di daerah basis LDII di Wonosalam dan di Desa Binaan/Pilot Project MUI di Baren seluas 26 hektar. Acara ini akan diikuti oleh sekitar seribuan warga LDII. Kegiatan reboisasi ini mengajak warga LDII menyatu dengan umat Islam lainya dalam aksi nyata. Rencana kegiatan ini sudah dibicarakan dengan LDII, untuk menentukan waktu pelaksanaannya, karena acara ini menyangkut beberapa pihak, termasuk Bupati Jombang. Kesediaan MUI dalam acara ini untuk merespon keinginan LDII.

MUI menyarankan agar perubahan paradigma baru LDII harus dibuktikan sampai di tingkat akar rumput, karena umat Islam terdiri dari beragam golongan mulai dari NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, al-Wasliyah, Persis, al-Khairiyah, DDII, FPI, MMI, dan lain-lain, yang masanya tersebar sampai ke tingkat bawah. Sebagai sebuah wadah bersama, MUI selalu menampung setiap masalah untuk diselesaikan bersama. LDII harus bisa meninggalkan ajaran eks-Islam-Jama’ah seperti manqul, fathanah, bithonah, menajiskan orang di luar kelompoknya, dan lain-lain. Tekad ini harus dipraktekkan secara nyata, karena sejarah pelaksanaan ajaran ini memang ada.

LDII memang berangkat dari Darul Hadits, Islam Jama’ah, Jama’ah Quran Hadits, dan LEMKARI. Oleh Gubernur Soelarso, (Kepengurusan) LEMKARI pernah dibekukan di Jawa Timur. Pembekuan (kepengurusan) LEMKARI tersebut belum pernah dicabut oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan berlaku hingga sekarang. Kelompok ini menggunakan nama beragam, yang jumlahnya mencapai 17 nama, tetapi muaranya tetap satu yaitu Islam Jama’ah. Berbagai kalangan pernah mengundang LEMKARI untuk membahas keberadaannya. Meski merupakan embrio dari LEMKARI, LDII telah menunjukkan sikap yang berbeda dengan dulu.

LDII menyatakan tidak mempunyai kaitan dengan yang dulu. Sekarang tinggal pembuktian saja bagi peneliti, bagaimana prakteknya. Oleh karena itu, LDII harus mengembangkan paradigma baru di tingkat grass roots, agar kesan eksklusif bisa dihapus. Misalnya, jika warga kampung mengadakan kerja bakti, maka seyogyanya warga LDII ikut berperan serta.

MUI menyarankan kepada pengurus LDII agar mensosialisasikan keputusan-keputusannya sampai di tingkat bawah, agar keputusan tersebut tidak hanya terwujud di atas kertas saja. Oleh karena itu, warga LDII secara umum harus membuktikan perubahan dalam dirinya, misalnya bergabung dalam kegiatan yang diadakan masyarakat, semacam Perayaan Hari Besar Islam (PHBI), kerja bakti, atau shalat berjama’ah dengan kelompok Muslim lain.

Saya pernah menjadi imam shalat di masjid LDII, tapi jama’ahnya hanya pimpinan LDII. Tapi secara informal (dalam arti bukan sebagai undangan pengurus LDII) dan spontan, saya belum pernah shalat di LDII. Ketika ada kegiatan di LDII, saya tidak sempat melaksanakan shalat di masjid LDII, karena acara saya sangat padat, sehingga saya melaksanakan shalat di luar LDII. Saya juga belum pernah memberikan khutbah (Jum`at) di masjid LDII, dan memang belum ada permintaan.

MUI pernah mengundang LDII dalam rapat penting di Provinsi, dalam membahas kasus-kasus nasional, karena paradigma baru LDII juga mencanangkan ukhuwah, yang tidak memandang kelompok Islam manapun. Saya juga pernah hadir di berbagai desa binaan MUI dan mengundang LDII, dan mereka pun menghadiri undangan ini bersama umat Islam lain.

...

11. K.H. Azhari Abas - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kepulauan Riau

Jangan Memvonis Karena Kenyataannya Sudah Berubah

Memang, dulunya LDII dianggap eksklusif. Tapi yang terakhir kita lihat, apalagi hasil Rakernas baru-baru ini, tidak. Makanya hasil Rakernas harus disosialisasikan. Kalau saya lihat, penyimpangan sudah tidak ada lagi. Sekarang, secara garis besar sudah tidak ada lagi. Cuma sekarang kita harapkan agar LDII harus mampu sosialisasikan ke masyarakat.

Kalau saya lihat untuk selama ini, karena saya dekat dengan Ketua LDII Batam. Cuma emang saya harapkan, tokoh-tokoh LDII harus mampu sosialisasikan hasil Rakernas. Memang saya akui bahwa ada sebagian masyarakat yang masih berbekas eksklusifnya. Mereka siap ikuti imam siapa saja. LDII yang dulu eksklusif, sekarang malah yang paling aktif. Di mesjid LDII juga, bukan hanya saya yang sudah kenal baik dengan tokoh LDII, tapi juga banyak yang lainnya. Sudah tidak ada masalah lagi. Orang LDII juga sudah shalat di mana-mana. Sudah bermakmum ke mana-mana, sudah berimam ke mana-mana.

...

12. Drs. K.H. Ahmad Shodri - Tokoh Ulama dan Ketua Forum Ulama dan Habaib Betawi Ketua Majelis ulama indonesia Jakarta Timur

Beda Sedikit-Sedikit, Wajar

LDII, sementara kita rekrut berdasarkan fatwa dari Kyai Ma’ruf Amin bahwa LDII akan diajak ke jalan yang lebih baik lagi. Fatwanya kita ikut MUI. Jangan mengikuti pendapat semaunya mereka (orang-orang yang menghujat, mengharamkan, red). Tapi sementara ini saya lihat LDII sudah banyak gabung ke MUI. Termasuk garapan saya di Jakarta Timur ini, alhamdulillah mesjid-mesjid LDII sudah kagak ada yang pake papan nama LDII. Sudah diturun-turunin. Termasuk yang dekat rumah saya. Saya nggak mengusulkan untuk diturunin, tapi mereka yang konsultasi ama kita. Kita arahkan supaya LDII jangan najisin orang yang bukan jama’ah LDII. Kita klarifikasi, mereka bilang ”tidak.” Sebagian besar jama’ahnya menjawab begitu. Ya sudahlah jangan diperdebatkan. Terus saya juga mengklarifikasikan waktu kasus yang di Klender. Orang-orang nuduh Islam Jama’ah dan mau dibakar. Saya bilang jangan. Selama ia mengucapkan dua kalimat syahadat, mereka itu saudara kita. Beda sedikit-sedikit, wajar. Beberapa mesjid sudah kita ceramahkan, dan responnya cukup positif. Di Islamic Center waktu itu, mereka melakukan tabligh akbar, dan yang ceramah dari kita, MUI (Jakarta) dan para pengurus MUI dari wilayah (kotamadya) lainnya.

Pengalaman saya pribadi, saya kenal pengurus LDII baik-baik saja. Namun laporan dari masyarakat ada aja. Tapi setelah kita tabayyun, ternyata nggak ada apa-apa. Dan mereka mengikuti kita. Beda dengan Ahmadiyah yang tidak kooperatif, dan masih mengakui Nabi lain.

Soal budaya manqul yang dituduhkan, ya orang yang nuduh harus tahu ilmunya. Orang yang demikian harus tahu mustholahul Hadits. Maaf-maaf aja, sekarang orang pada banyak yang nggak paham, gimana mau ngritik. Santri di pesantren salaf aja, belum tentu nguasai semua, apalagi yang nggak mesantren. Gimana mau ngritik. Makanya, yang di pesantren itu, kalau ada Hadits yang dibilang dhoif, tapi nilai maslahatnya banyak, tetap digunakan.

...

13. K.H. Qaimoeddien Thamsy, SH. - Tokoh Ulama dan Pengurus Pusat Syarikat Islam Indonesia, Tokoh Islam Indonesia Timur, Ketua MUI Jakarta Pusat

Saya Meneteskan Air Mata atas Perlakuan Mereka

Perkenalan saya dengan LDII belum terbilang lama, tetapi sebelumnya saya mengenal betul Islam Jama’ah. Mulai dari awal kelahirannya, bahkan sampai mengetahui dan mengenal jama’ah LDII. Saya pernah terkontaminasi dan terpengaruh dengan ajaran Islam Jama’ah. Bahkan, saya pernah masuk di dalamnya dan mendakwahkan Islam Jama’ah sewaktu masih muda, sekitar tahun 1960-an di Malang, Jawa Timur.

Pada mulanya Islam Jama’ah bernama Darul Hadits. Saya memahami betul masalah itu, dan Saya pun dikenal dengan baik oleh kalangan Islam Jama’ah. Sewaktu adik saya masuk Islam Jama’ah, ia marah habis-habisan, karena kelompok ini dipandang oleh masyarakat luas sebagai aliran sesat. Adik saya adalah seorang anggota TNI Angkatan Laut di Surabaya, dan atasannya adalah R.E. Martadinata, seorang tokoh Islam Jama’ah yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Laut. Dengan menggunakan pengaruhnya, ia mengajak anak buahnya untuk masuk Islam Jama’ah, di antaranya adik saya.

Pada tahun 1967, saya pergi ke Jakarta. Oleh adik saya, saya dibekali surat supaya bisa masuk ke Tawakkal (nama sebuah jalan di Jakarta tempat Islam Jama’ah berpusat). Saya masuk ke sana dan sempat memberikan ceramah-ceramah. Saya sempat ikut pengajian-pengajian di sana. Wah sesat juga, komentar saya waktu itu. Pada awalnya, saya sempat diterima, tetapi masih dicurigai juga. Akhirnya, saya terdepak dan mulai saat itu berhadapan langsung vis a vis dengan mereka.

Mulai saat itu, di Jakarta sudah berkembang pertama di Tawakkal. Saya tahu betul, dan saya kembali ke Surabaya. Saya suruh adik saya keluar karena beberapa ajarannya, seperti masalah nikah, masalah jenazah, masalah orang tua, bahaya sekali. Dan manqulnya itu jelas. Pokoknya yang aneh-aneh. Sebagai orang muda, pada waktu itu saya umur 26 tahun, saya dilarang oleh Bapak K.H. Dalai Umar, tokoh ulama pada waktu itu.

Pada tahun 1990, atas dasar pidato pengarahan Rudini selaku Menteri Dalam Negeri, dan Sudharmono SH selaku Wakil Presiden LEMKARI mengubah namanya menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dikarenakan nama LEMKARI memiliki kesamaan singkatan dengan Lembaga Karatedo Indonesia. Kedua arahan pejabat pemerintah tersebut dan masukan baik pada sidang-sidang komisi maupun sidang paripurna dalam Musyawarah Besar IV LEMKARI tahun 1990, selanjutnya perubahan nama tersebut ditetapkan dalam Keputusan MUBES IV LEMKARI No. VI/MUBES-IV/LEMKARI/1990, Pasal 3 yaitu mengubah nama organisasi dari Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang disingkat LEMKARI menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang disingkat LDII.

Pada waktu mereka ingin bertemu Bapak Fauzi Bowo (waktu masih menjadi Wagub) karena mereka akan mengadakan Rakerda waktu itu, lantas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang dan Linmas) mengundang saya. Saya selaku pribadi datang kesana. ”Ini apa-apaan. LDII itu jelas kotor.” Saya bilang kepada Bapak Fauzi Bowo, ”jangan datang.”

Kemudian saya diundang ceramah di masjid mereka dengan Camat setempat. Sewaktu ceramah saya bilang, setelah saya pergi dari sini (tempat duduk saya dengan Bapak Camat) dibersihkan, nanti akan berhadapan dengan saya. Lalu mereka ketawa ha ha ha. Karena mereka itu belum tahu Islam Jama’ah tahun 1960-an, termasuk Gunawan dkk dan pengurus Masjid. Saya minta kalau memang betul-betul berubah, buktikan.

Saya katakan kepada mereka, apakah bisa jadwal ceramah/khutbah di masjid kalian, kita barter? sehingga kita bisa ceramah/khutbah di masjid LDII. Saya tunggu, dan itu mereka lakukan. Bukan hanya saya yang memberikan ceramah, tetapi Saudara Mabrur Abduh dan Arif juga memberikan ceramah di kalangan LDII Jakarta Utara.

Mencuci Masjid waktu Islam Jama’ah pernah saya lihat, tetapi di LDII sama sekali tidak. Orang kan semuanya terbius dengan pengalaman masa lalu. Selama sudah merubah paradigmanya, saya pernah tunjuk mereka, mana buktinya, mereka bohong. Saya pernah ketemu dengan Bambang Irawan. Sebenarnya mereka cuma dengar-dengar, cerita-cerita pengalaman masa lalu, karena mereka tidak pernah terjun langsung. Saya tidak percaya jadinya. Banyak muballigh-muballigh yang mengekspose hal-hal yang ”katanya dan katanya.” Seharusnya mereka terjun langsung, ia buktikan, ia cari di mana sumbernya. Saya pernah marah dengan Pak Ardani dan Pak Hamdan (Pengurus MUI Jakarta) dengan ungkapannya, tetapi saya minta untuk membuktikan, bukan katanya. Jangan sampai jadi fitnah. Ini pengalaman masa lalu.

...

14. Ustadz H. Abdul Mutalif bin Hashim - Pengurus Executive Masjid Darussalam SingaporeMember of Islamic Religious Council of Singapore

Kalau Terjadi Ketegangan, Kemana Mereka Akan Berpihak?

Perkenalan saya dengan LDII bermula dari Pasir Panjang (sebuah daerah di Singapura). Salah satu tugas saya dalam mentadbir (mengurus) mesjid Darussalam (di Singapura) adalah membangun networking dengan agensi yang berhubungan dengan mesjid. Usaha saya untuk bekerjasama, saya bertemu dengan Cawangan Jamiyah Pasir Panjang. Jamiyah adalah kumpulan Non Government Organization (NGO)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam dakwah Islam di Singapura. Sebelum saya tahu mereka, saya sudah dengar desas-desus bahwa mereka ini mengamalkan ajaran sesat. Jadi saya ingin tahu, kenapa sesat, dan apa yang sesat. Kita kena bawa orang yang sesat jadi tidak sesat. Sebab kita berdosa apabila membiarkannya.

Setelah saya tahu, setelah saya observe, pada pandangan saya mereka ini tidak sesat, tapi memiliki ideologi (gerakan) tersendiri daripada mayoritas kefahaman masyarakat muslim Singapura yang mengikut madzhab Imam Syafii. Di masyarakat Singapura ini sudah banyak perubahan madzhab, dan masyarakat muslim Singapura sudah mulai menerima. Awalnya, mereka tidak diterima oleh masyarakat muslim, oleh mana-mana mesjid di Singapura. Tapi sekarang tidak masalah. Perbedaan mereka hanya sebatas sunah-sunah saja.

...

15. Ustadz H. Khamsi bin Sunandar - Mantan Perwira Menengah Polisi MalaysiaPresiden Persatuan Bakti Muslim Selangor, Malaysia

Pengelolaan Mesjid, Kita Utamakan Kesucian

Secara sejarahnya, pada tahun 1982, saya nak tahu apa itu al-Qur’an dan hadits. Saya terus mencari itu. Tapi setelah saya terus mencari, saya tidak mendapatkan kemantapan dalam diri saya. Pada tahun 1987, ada suatu peristiwa, ada pengajian al-Qur’an al-Hadits. Justru di situlah saya dapatkan jawaban atas apa yang saya cari-cari.

Setelah saya mengikuti, saya semakin merasa mantap, meski saya tidak tahu bahwa itu adalah LDII. Saya baru tahu bahwa di Indonesia sana, disebutnya LDII. Setelah itu, ramailah yang mengaji al-Qur’an dan hadits.

Ada juga anak-anak Malaysia yang dikirim ke Kediri, termasuklah anak saya yang sulung. Setelah sarjana, saya kirim ke sana. Jadi saya kenal dengan pimpinan-pimpinan di sana. Waktu saya pergi ke Mekkah, saya jumpa lagi di sana. Meski karena saya pegawai polis, waktu itu saya tidak boleh secara aktif mengikuti Pengajian al-Qur’an dan hadits.

Bagaimana saya bisa dikenal oleh DPP LDII, karena pertama sekali saya ini pegawai polis, yang pernah ditempatkan di sana-sini. Mungkin juga karena kepemimpinan saya di sini. Semula jadi sajalah.

Mengajinya? Cara mengajinya (LDII) begini. Kalau kita mengaji al-Qur’an, kita semua yang mengikuti sama-sama memegang al-Qur’annya. Dalam al-Qur’an itu, kita mencatatnya. Setelah lama saya mengikuti, saya juga boleh menyampaikannya kepada yang lain. Begitu pula dalam soal pembelajaran hadits. Oleh karena lama-kelamaan, kita boleh faham, dan boleh menyampaikan.

...